27/05/09

Meniti Pengharapan ditengah Kesulitan

Bagaimana respons Anda ketika rencana Anda yang tersusun rapi tiba-tiba berubah total dalam situasi yang tidak pasti? Protes kepada Tuhan atau berjalan dalam iman dan pengharapan?

Memasuki usia kehamilan trimester ketiga, Yusuf dan Maria berusaha menjaga buah kandungannya dengan hati-hati. Meski keuangan terbatas, mereka rutin berkonsultasi dengan bidan setempat. Pasangan muda ini juga sudah memesan rumah bersalin terbaik yang ada di Nazaret untuk kelahiran bayi yang dikandung dari Roh Kudus. Tak sabar mereka menunggu hari kelahiran bayi agung itu. Namun, apa lacur. Tiba-tiba ada maklumat dari Kaisar Agustus untuk mengadakan sensus penduduk secara global dalam wilayah kekaisarannya. Masalahnya, semua orang harus didaftar di tanah leluhurnya.

Long March
Pengumuman itu sontak membuat pasangan Yusuf dan Maria kalang kabut. Apalagi setelah tahu jadwal cacah jiwa itu berdekatan dengan HPL (hari perkiraan lahir) anaknya. Mereka berunding dan bergumul. Haruskah mereka kembali ke Kota Daud, leluhurnya? Jarak Nazaret ke Betlehem cukup jauh, kira-kira 115 km. Mereka tidak bisa pesan
taksi. Moda transportasi yang dikenal cuma keledai.

Yusuf dan Maria harus melakukan long march saat kandungannya semakin tua. Dengan usia kandungan yang telah memasuki bulan kesembilan, kecepatan yang bisa ditempuh hanya 1-2 km/jam. Apalagi Nazaret, desa tempat tinggal mereka terletak di lembah yang curam di antara bukit-bukit batu gamping. Perjalanan menuju Betlehem ke arah selatan terdapat turunan tajam ke dataran Esdraelon, dan seterusnya. Kalau sehari mereka mampu menempuh 10 km, berarti mereka harus berjalan lebih dari seminggu.

Terik mentari yang mulai meninggi kian menyengat. Sesekali Yusuf menyeka keringat Maria yang tampak kelelahan. Meski menunggang keledai, perjalanan panjang ini begitu melelahkan bagi wanita muda yang tengah hamil tua ini. Yusuf harus berhati-hati menuntun keledai berjalan melewati batu-batu cadas. Setiap goncangan cukup membuat perut Maria kontraksi. Terkadang ia memegang perutnya yang membuncit sambil menahan nyeri.

Solidaritas Tuhan
Ketika tiba di Bethlehem, kota kecil itu tengah dipadati orang-orang dari luar kota yang mau ikut sensus penduduk. Yusuf berusaha mencari penginapan. Namun, melihat penampilan Yusuf yang lusuh, apalagi dengan istrinya yang tengah hamil tua, semua pemilik penginapan menolak mereka.

Dapat dipahami. Mereka tentu tidak mau direpotkan dengan kelahiran jabang bayi di penginapan. Belum lagi suara tangis bayi yang bisa mengganggu tamu-tamu lain. Jadi, maaf saja, tidak ada tempat buat mereka (Luk. 2:1-7).
Letih mencari penginapan tanpa hasil, mereka pun beristirahat di kandang sambil memberi makan keledai. Sementara Maria berbaring melepas lelah, kontraksi perutnya kian kuat. Ia sama sekali tak membayangkan akan melahirkan putra Allah di kandang hewan.

Sesaat kemudian terdengar tangisan bayi memecah kesunyian. Tangis ini menjadi lonceng yang menengarai peristiwa mahapenting dalam sejarah umat manusia. Suatu dentang fajar baru yang penuh harapan. Melalui kelahiran bayi mungil yang diberi nama Yesus, BAPA ingin menghadirkan Kerajaan-Nya di dunia ini, dengan Yesus sebagai tokoh sentralnya.
Kehangatan cinta Maria dan Yusuf membuat tangis itu berhenti dan bayi Ilahi itu tersenyum. Tangis dan senyum pertama-Nya menghangatkan relasi persaudaraan dan kasih. Mengutip Julius Kardinal Darmaatmadja, “Tangis-Nya menyertai segala derita manusia yang dijadikan derita-Nya. Senyum-Nya meneguhkan siapa pun yang menerima Dia, menerima ajaran dan karya penyelamatan-Nya.”

Mewujudnya Allah dalam diri Yesus adalah perwujudan solidaritas Tuhan yang paling otentik. Yesus datang ke dunia untuk membangun kembali budaya kasih, hidup dalam kebersamaan, saling peduli, dan dalam suasana persaudaraan. “Ia memasuki kedagingan manusia. Berarti pula, Ia memasuki berbagai peristiwa manusia, persoalan-persoalan mereka, keputusasaan mereka, tetapi juga harapan-harapan mereka,” sebut Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe.

Nyanyian Malaikat
Kristus Sang Raja tidak lahir di istana. Ia datang dalam kesederhanaan. Tuhan tidak mengutus malaikat-Nya ke Bait Suci kepada orang Farisi yang merasa “sok rohani”. Ia justru memilih orang-orang yang rendah hati. Ia memilih para gembala untuk menyampaikan kabar sukacita. Bahkan kepada para gembala ini Tuhan secara khusus mengirim tim paduan suara malaikat (Luk.2:9-14).

Kelahiran Yesus di kandang memberi ruang bagi para gembala untuk berjumpa dengan Juruselamat mereka. Gembala umumnya adalah orang miskin. Masyarakat marjinal yang setiap hari berjuang demi kelangsungan hidup. Ia selalu menghadapi bahaya baik dari alam, binatang buas, ataupun manusia. Ada pesan mendalam di balik kabar sukacita kepada gembala. Siapa pun kita, walaupun sederhana di mata manusia, Tuhan berkenan menyatakan kemuliaan- Nya dalam hidup kita.

Sementara itu, jauh hari sebelum Yesus lahir, berita kelahiran-Nya sebagai raja sudah diisyaratkan kepada para intelektual, ahli astronomi dari Timur. Seperti halnya Maria dan Yusuf, mereka juga melakukan long march untuk menemui Yesus, bayi mulia itu.

Mengapa mereka berketetapan hati untuk melihat bayi kudus? “Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Mat. 2:2b). Berdasarkan pengetahuan mereka, orang-orang Majus ini bertindak! Meninggalkan kenyamanan di negerinya dan melakukan perjalanan jauh untuk menemukan dan menyembah Raja segala raja di Betlehem.

Hal yang menarik, ketika orang-orang pintar ini mendapati raja yang baru lahir itu tinggal di rumah sederhana, hati mereka tak surut. Bahkan mereka mempersembahkan emas, kemenyan, dan mur kepada bayi kudus itu (Mat. 2:11). Suatu pertanyaan penting, ketika kita sudah habis-habisan mencari Tuhan dan kita diperhadapkan dengan realitas yang tidak seperti kita angankan, masihkah kita mempercayai Tuhan?

Penggenapan Janji
Kelahiran Kristus juga menjadi penggenapan janji Tuhan kepada orang-orang-Nya yang benar, Simeon dan Hana. Mereka hidup benar dan saleh serta menantikan penghiburan bagi Israel. Simeon menantikan Mesias dengan penuh harap sesuai dengan janji Tuhan kepadanya.

Ketika melihat Yesus, Simeon menyambut, menatang-Nya, lalu menyanyikan sebuah pujian yang terkenal “Sekarang biarkanlah aku pergi” (Luk. 2:29). Dalam pujian itu tampak bahwa perjumpaannya dengan Mesias merupakan pemenuhan atas kerinduan terbesar dalam hidupnya. Seolah-olah Ia sudah siap mati karena tujuan hidupnya sudah tercapai.
Hal yang sama juga dialami Hana, nabiah yang tekun beribadah di Bait Suci. Natal adalah bukti bahwa Tuhan setia dengan janji-Nya. Ia mengabulkan pengharapan umat-Nya untuk berjumpa dengan Juruselamat.

Situasi sulit tak menghalangi Yusuf dan Maria meniti jalan kasih. Ketaatan mereka bertolak ke Betlehem telah menggenapi nubuat Nabi Mika tentang tempat kelahiran Juruselamat (Mi. 5:1). Kelahiran Kristus telah menjadi jawaban atas harapan semua kalangan. Tuhan berkenan menyatakan kemuliaan-Nya kepada siapa saja. Yusuf, Maria, para gembala, orang-orang Majus, Simeon, Hana, juga Anda.

Banyak hambatan dan tantangan di hadapan kita. Natal tahun ini beriringan dengan krisis global yang tengah melanda dunia. Semua kena imbasnya. Orang berduit, kebat-kebit. Orang miskin tambah pening. Masa depan penuh ketidakpastian. Namun, kehadiran Kristus membangkitkan pengharapan bagi dunia yang tengah terpuruk. Pengharapan itu adalah sauh bagi jiwa kita (Ibr. 6:19).

Natal, kelahiran Kristus telah memberi dimensi baru relasi manusia dengan Tuhan. Seperti Yusuf dan Maria, sebagai umat beriman dengan penyertaan Kristus, Sang Immanuel, mari kita menjadi saksi dengan hidup penuh keberanian dan harapan dalam semangat cinta kasih. Selamat Natal 2008.

Sumber: Majalah Bahana, Desember 2008

Tidak ada komentar:








INFO
KomSel





Komsel Setiap Hari Jumat Jam 20:00 WIB Tuhan Yesus Memberkati.

Semua Materi Bahan Sate diambil dari www.abbalove.org



ABBALOVE SERPONG
Ruko Jasmine Blok HA/1 No.2-6 Gading Serpong







God Bless You.

Daftar Blog Favorit