Seorang pria berumur 45 tahun datang menghampiri saya dengan wajah sedih menceritakan kisah hidupnya yang menurutnya sudah tidak ada harapan. Kami bertemu beberapa bulan lalu seusai pertemuan Pria Sejati. Terkejut mendengar perkataannya, “Pak, jika saya tidak diajak teman untuk mengikuti acara ini, saya dan keluarga pasti sudah hangus terbakar di rumah.”
Ia melanjutkan, “Saya berencana membakar istri, anak-anak, dan saya sendiri di dalam rumah karena tidak sanggup lagi menghadapi masalah ini. Saya tidak ingin istri dan anak-anak menanggung beban ini. Jadi lebih baik kami mati.”
Dalam 2 tahun terakhir, saya menemukan banyak pria hidup mengenaskan seperti pria di atas. Keadaan tersebut ditemukan mulai dari hubungan suami-istri, orang tua-anak hingga masalah keuangan dan tekanan pekerjaan.
Walau banyak orang berpendapat, bahwa pria dianggap pelaku penyebab kekacauan rumah tangga, namun saya juga menemukan pria adalah ‘korban’. Korban masa lalunya yang buruk, korban respon orang-orang di sekelilingnya yang melecehkan dan meremehkan hidupnya.
Akhirnya pria menjadi sosok yang letih, stres, tertekan di tengah perubahan dan tantangan yang makin berat, demikian dikatakan Patrick Morley dalam bukunya, “Seven Seasons of the Man in the Mirror”.
Saya merangkum paling tidak ada 3 tekanan utama yang menyebabkan pria menjadi letih, stres, akhirnya memilih kabur dari masalah dan terjebak dalam perselingkuhan, perjudian, pembunuhan, dan sebagainya.
1. Tekanan Pekerjaan
Pria harus bekerja. Betul! Tapi yang menjadi tekanan adalah upaya mempertahankannya agar tetap bisa hidup. Pria jadi berhitung apakah penghasilannya cukup atau tidak. Belum lagi kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, hutang kartu kredit yang tak kunjung selesai.
Sebaliknya, bagi yang memiliki keuangan mapan, bisa saja terjebak pada pemikiran bagaimana menghasilkan lebih banyak lagi. Belum lagi datang tekanan dari orang-orang muda yang lebih kreatif, memiliki energi kerja lebih besar dibanding orang-orang yang sudah tua.
Loyalitas sepertinya tidak dianggap sebagai sesuatu yang berarti, digantikan kreativitas, fleksibilitas dan kecepatan. Akibatnya, banyak pria mengejar performa hingga harus rela pulang lebih malam, menggunakan waktu berlibur keluarga dengan bekerja. Akhirnya menjadi stres, kuatir, takut digeser posisinya, dan kehilangan pekerjaan.
2. Tekanan Informasi & Komunikasi
Teknologi seharusnya membantu manusia dapat hidup lebih baik. Kenyataanya, banyak orang termasuk pria diperbudak teknologi. Orang yang tidak bijak, akhirnya mengorbankan prioritas lain termasuk waktu bersama keluarga.
Jangan-jangan komputer dan handphone sudah menjadi ‘pesaing’ keluarga. Bangun tidur yang dicari handphone, komputer, membuka email dan seterusnya. Sepertinya kita tidak bisa menghindar dari teknologi karena pekerjaan menuntut bisa dihubungi setiap saat dengan respon cepat.
Pria telah dibombardir informasi melalui teknologi, seakan-akan ada keharusan yang memaksa hingga harus menggeser prioritas waktu keluarganya. Sekalipun mereka mengatakan berlibur bersama keluarga, namun handphone mereka tetap berdering untuk urusan pekerjaan.
Di tengah berlibur, hadir stres. Sampai ada orang yang mengatakan tidak lagi “I hate Monday” (saya benci hari Senin), melainkan “I hate Sunday Evening” (saya benci hari Minggu sore), mengapa? Karena besoknya hari Senin, harus bekerja lagi.
Banyak istri dan anak-anak mengeluhkan suami dan papanya tidak lagi punya waktu untuk ngobrol tanpa gangguan. Padahal seharusnya, pria membutuhkan waktu untuk merefleksikan dirinya, istirahat tanpa gangguan, dan kesegaran bagi jiwanya.
3. Tekanan Perjalanan
Berapa banyak waktu yang dihabiskan seorang pria di tengah perjalanan? Hidup di kota besar seperti Jakarta, kita menghabiskan paling sedikit 3 jam di jalan. Dalam seminggu kita menghabiskan lebih kurang 1 hari hanya untuk perjalanan. Belum lagi tugas keluar kota dari kantor yang menggunakan pesawat terbang.
Perjalanan yang melelahkan ini berakibat pada kesehatan di mana kecenderungan mengkonsumsi makanan cepat saji sangat tinggi bahkan tidak teraturnya pola makan. Banyak pria tidak sehat hidupnya karena hal ini.
Tidak sehat membuat hubungan pria terganggu dengan keluarganya, ia menjadi tidak segar ketika pulang ke rumah. Saya menemukan sebagian besar kehancuran hidup pria ada di area ini. Ia menjadi rentan dengan godaan, khususnya hal seksual ketika melakukan perjalanan ke luar kota.
Apabila sebagai pria ditekan terus dengan ketiga hal itu, satu waktu ia menjadi dingin, kehilangan semangat, dan dapat berakibat fatal seperti pria di awal tadi.
Seandainya Anda seorang istri setelah membaca ini melihat bahwa suami Anda mengalami hal serupa, jangan putus asa. Ada sebuah cara yang dapat mengatasi ketiga tekanan ini. Pria harus mau datang kepada Tuhan untuk di’audit’ atau mengijinkan Tuhan melakukan ‘general check-up’ secara rohani dan jiwa.
Pria harus mau menyediakan waktu merefleksikan dirinya secara berkala, terhindar sesaat saja dari kesibukan, bertemu Sang Auditor hidup terbaik.
Ketika Tuhan melakukan ‘audit’, pandanglah bahwa DIA sebagai penolong. Pria yang saya ceritakan di awal tadi akhirnya dipulihkan Tuhan setelah ia menyerahkan dirinya untuk di’audit’ oleh Tuhan. Sungguh luar biasa, bukan?
Tuhan tidak akan pernah rela melihat Anda dan keluarga hidup dalam kehancuran. Jika Anda berkata sepertinya sudah terlambat, sudah terjerumus demikian parah, itu adalah tanda bahwa cara Anda sudah tidak mampu membereskan. Tinggal caranya Tuhan yang unik dan pasti selalu tepat pada waktu-NYA. Sekarang saatnya Anda membuka pikiran dan hati kepada DIA untuk sepenuhnya dibereskan dengan cara-NYA.
Bill Perkins menginspirasi banyak pria melalui prinsipnya yang berbunyi “Success at work, fail at home means FAIL COMPLETELY” (Sukses di pekerjaan, gagal dalam keluarga, adalah Gagal Seluruhnya). Mari menjadi pria yang sukses seutuhnya
Sumber: priasejati.or.id
MURAHHHHH.....
-
DALI CHRYSANTHEMUM WITH HONEY
Teh bunga chrysanthemum dengan madu.
Khasiat dan kegunaan:
Memelihara kesehatan dan membantu meredakan sakit kepala dan pana...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar