”Tiada pesta yang tanpa akhir”, begitu tutur sebuah pepatah. Setelah 21 minggu, kini tibalah saatnya kita mengakhiri rangkaian pembahasan kita, ”KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ALKITAB”, dengan beberapa ”catatan akhir”.
Catatan pertama saya—tak bisa lain—adalah, menekankan kembali betapa, dari sudut pandang Alkitab, seorang ”pemimpin” yang baik itu wajib membuktikan diri terlebih dahulu, bahwa ia adalah ”anggota” yang baik. Ini wajar sekali.
Mengapa? Sebab ”pemimpin” itu seyogianya dipilih dari antara ”anggota-anggota” yang terbaik. Mesti muncul dari ”bawah”. Bukan ”drop-dropîan dari atas. Betul?
Inilah yang dinasihatkan oleh Yitro, mertua Musa, tentang siapa-siapa yang pantas untuk diangkat menjadi ”pemimpin” mendampingi Musa. ”Kau carilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap. Tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpni seratus orang, dan pemimpin sepuluh orang” (Keluaran 18:20).
Juga usul para rasul, ”Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas (menjadi’ pelayan meja’) itu” (Kisah Para Rasul 6:3).
Ringkas kata, hanya seorang ”kopral” yang baik—bahkan yang terbaik—layak dipromosikan menjadi ”sersan”. Sebab bila sebagai ”kopral” saja tidak becus, bagaimana mungkin ia kita harapkan mampu menjadi ”sersan” yang baik, bukan?
***
ASPEK ini, begitu wajar dan begitu masuk akal. Namun begitu—ironisnya—ia juga begitu tidak diperhatikan orang. Di toko-toko buku, dengan sangat mudah kita bisa memperoleh buku mengenai bagaimana menjadi pemimpin yang baik; pemimpin yang sukses; pemimpin yang efektif dengan 1001 macam judul, dalam beraneka ragam bahasa, dan ditulis oleh banyak sekali pakar.
Ya. Tapi dalam usia saya yang setua ini, rasa-rasanya baru satu kali saja saya menjumpai buku, dengan judul, ”How To Become A Good Member” – ”Bagaimana Menjadi Anggota Yang Baik”.
Bila pengamatan saya ini benar, maka maklumlah kita, mengapa situasi kepemimpinan kita—di segala bidang dan di semua aras—begitu carut-marut sekarang ini. Sebab dari tanah yang tak pernah dipupuk dan dipelihara untuk menjadi lahan yang subur, alangkah sulit kita mengharapkan bertumbuh tanam-tanaman yang sehat.
Pembicaraan kita selama ini—mudah-mudahan Anda masih mengingatnya—amat menekankan, betapa konsep ”kepemimpinan kristiani” itu bertumpu pada konsep ”Kepemimpinan yang Menghamba”. ”Kepemimpinan yang Melayani” ”Servant Leadership”.
Dasarnya sama dengan yang kemukakan di atas. Bahwa seorang yang telah teruji dan ternyata berhasil menjadi ”pelayan” yang baik, adalah orang yang telah terbukti mampu mengendalikan dan menguasai diri sendiri. Dan hanya bila orang mampu mengendalikan dirinya sendiri, ia layak diberi kepercayaan untuk mengendalikan, memimpin dan menguasai orang lain. ”Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil,” kata Yesus, ”ia setia juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).
***
SEMUA ini ada konsekuensinya. Itulah isi catatan kedua saya. Yaitu bahwa kepemimpinan yang baik itu seyogianya bertumbuh melalui sebuah proses yang berlangsung alamiah. Seperti halnya pada sebuah tanaman. Ia tidak mendadak-sontak hadir sebagai pohon yang besar. Pohon yang sebesar apa pun, selalu bermula dari sebuah biji yang kecil. Kemudian bertumbuh menjadi tunas yang lemah. Baru lambat-laun bertambah besar menjadi sebuah pohon.
Ini pun, pada awalnya, seolah-olah hanya sebuah pohon yang tidak menghasilkan apa-apa, serta tidak bermanfaat bagi siapa-siapa. Baru pada akhirnyalah, ia menghadirkan diri sebagai sebuah pohon yang kokoh dan tegar walau diterpa angin keras, sebab akar-akarnya mencengkeram dalam-dalam ke tanah.
Menjadi sebuah pohon yang rimbun yang daun-daunnya, sehingga mampu menaungi dan mengayomi orang dari sengatan terik matahari siang. Menjadi sebuah pohon, di mana burung-burung dengan aman bisa membangun sarang mereka. Menjadi sebuah pohon, yang buahnya mendatangkan manfaat bagi banyak orang. Sekali lagi, setelah proses yang amat panjang dan menjemukan.
***
SAYANGNYA, banyak orang ingin meloncat. Enggan melewati proses yang memang panjang dan menjemukan itu. Yang mereka mau adalah, bagaimana dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mereka bisa tiba-tiba muncul sebagai pemimpin yang hebat, konglomerat yang sukses, selebriti yang menjadi idola dan pujaan banyak orang. Dan untuk ini, mereka rela memakai cara apa pun, menjual apa pun, mengkhianati siapa pun, dan membayar berapa pun.
Harus kita akui, cara-cara tersebut bukan tidak membawa hasil sama sekali. Lihat saja ke sekitar kita! Orang yang semula kita tahu buta politik, eee tiba-tiba bisa dilantik jadi anggota parlemen. Orang yang sebelumnya nyaris tak pernah terlibat dalam gerakan oikoumene, eee tiba-tiba bisa jadi ketua PGI. Bisa! Tapi, seperti dikatakan oleh Stephen Covey, cara-cara yang ”tidak alamiah” itu, paling banter hanya akan menghasilkan ”pemimpin-pemimpin karbitan”. Yang mutunya mengecewakan.
***
TENTANG pentingnya seorang pemimpin melalui proses ini, Yesus memberi contoh melalui perjalanan hidup-Nya sendiri. Ia tidak begitu saja ”ujug-ujug” muncul di Galilea, sebagai seorang guru agama yang hebat. Melainkan melalui sebuah proses yang panjang. Alkitab memperkenalkan-Nya sejak Ia masih berada di rahim ibunya. Kemudian lahir sebagai bayi yang rentan, di tengah perjalanan. Melalui sebuah kisah yang, bagi saya, lebih banyak tragisnya ketimbang romantisnya.
Dalam usia balita, Ia sudah harus dibawa lari mengungsi ke Mesir. Kembali melewati perjalanan yang panjang, menegangkan, dan penuh kesulitan. Lalu setelah aman, 30 tahun sebagai tukang kayu di Nasaret. Tanpa peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Tanpa pencapaian-pencapaian yang spektakuler. Tanpa kejadian-kejadian yang pantas untuk diceritakan.
Kemudian, ketika Ia tahu, bahwa saatnya telah tiba untuk muncul ke tengah panggung, langkah pertama-Nya bukanlah membentuk ”tim sukses” atau mempersiapkan ”mesin politik”. Bukan melakukan ulah yang aneh-aneh, dengan maksud mencuri perkatian. Bukan berziarah ke makam embah ini atau embah itu. Bukan bersilaturahmi ke tokoh ini atau tokoh itu. Bukan menerbitkan buku untuk membesarkan diri. Tapi, tanpa publisitas yang ramai, Ia mengunjungi Yohanes, untuk dibaptis.
Setelah itu, Ia menyelinap diam-diam ke padang gurun, yang lengang dari perhatian orang. Berdoa dan berpuasa di sana, 40 hari 40 malam. Baru kemudian mulai membentuk ”tim inti”-Nya.
Tidak banyak, cukup 12 orang. Bukan mantan-mantan jenderal atau tokoh-tokoh tenar. Tapi orang-orang biasa, sebagian besar eks nelayan dari Danau Galilea.
Suatu proses yang sama sekali tidak menarik perhatian. Jauh dari gemerlapan. Sebaliknya, cenderung menampilkan kesuraman. Tapi menurut keyakinan saya, itu justru merupakan periode formasi yang paling menentukan! Ibarat mau membangun sebuah gedung pencakar langit, itulah saat meletakkan fondasi yang akan menyangga seluruh bangunan. Fondasi itu sendiri tidak menarik perhatian, tapi betapa menentukan!
***
KELEMAHAN yang paling mencolok dari situasi kepemimpinan kita sekarang ini, sekali lagi, adalah karena orang tidak sabar. Memancangkan seluruh daya, tenaga, dan upaya, hanya kepada ”hasil”nya, bukan ”proses”nya.
Terlalu banyak ”tokoh” yang menjadi ”pemimpin” bukan sebab berhasil membina diri sendiri sedemikian rupa, tetapi karena kelicikan dan kelihaian mereka menyingkirkan para pesaingnya. Inilah para pemimpin ”perenang gaya dada”.
Mengapa disebut begitu? Sebab, seperti berenang dengan gaya dada, untuk melaju, si perenang dengan kedua tangan mengibaskan rekan-rekannya ke kiri dan ke kanan. Dengan kedua kakinya, ia menyepak semua lawan-lawannya ke belakang. Kemudian mengangkat kepala, menjilat ke ”atas” tanpa segan.
Itulah gambaran karikatural para pemimpin, yang hanya berfokus kepada ”hasil”, tapi mengabaikan ”proses”. Pemimpin-pemimpin karbitan. Pemimpin-pemimpin tanpa moral. Yang hanya mau menjarah, alih-alih memberi arah. Yang cuma mau menguasai, bukan menginspirasi. Karenanya, kepemimpinan yang tanpa kepemimpinan!
Amien Rais dalam kampanyenya, saya ingat, sering mengusung tema, ”Sudah saatnya, kejujuran memimpin”. Kepada Franky saya minta izin untuk mengubahnya sedikit, menjadi ”Sudah saatnya, pemimpin memimpin”. Bukan tikus. Bukan kecoa.
Untuk itu, marilah kita mulai dengan diri kita masing-masing. ***
Oleh Eka Darmaputera
MURAHHHHH.....
-
DALI CHRYSANTHEMUM WITH HONEY
Teh bunga chrysanthemum dengan madu.
Khasiat dan kegunaan:
Memelihara kesehatan dan membantu meredakan sakit kepala dan pana...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar